Dignity and equal rights as citizens


We all already know that at the present time a lot of disability organizations or individuals with disabilities are always fighting for equal rights and maintaining dignity and indeed it is not something that is easy to implement given the Indonesian government's lack of concern in regard to issues facing by people with disabilities, as we all know that in the Constitution Act of 1945, chapter X of the citizens and residents of article 27 is said "(1) All citizens shall be equal before the law and
government and shall abide the law and government
no exception.
(2) Each individual citizens the right to work and decent living
for humanity.
(3) Every citizen has the right and duty to participate in advocacy efforts
countries. *
and article 28 says: Freedom of association and assembly, issued a mind with oral and written and set forth by law.

However, in the realization that it is still very difficult to be implemented in this country .. and still a lot of negative stigma which always assume that people with disabilities is someone who is weak and not equally harmful.
And also discrimination against persons with disabilities are still perceived primarily in villages or settlements that average people have a limited knowledge. Really this is a concern us all and is an arduous task for activists in advocating for the community and the government. For that is desirable to all people with disabilities to keep the spirit and think positive and do not give up or despair because in changing the lives and livelihood is a duty we all, for it was there that do not tarnish or ruin of the holy struggle.
When we talk about dignity and self-esteem then all of it must begin with ourselves first ... as an example, we ask the government to provide employment opportunities for people with disabilities, but what if the persons themselves have never done anything to change in the attitude of dependence in others, it is just as contradictory because how people can appreciate what we are when we are always resigned to fate, then that's what we all have to start up and be ready to make that change and things that we can do in all sectors without exception because a Law books will become obsolete what a paper when we stand together not

Related Posts:

BAB I: APA SAJA HAK ASASI MANUSIA BAGI PENYANDANG CACAT?


1. Hak Asasi Manusia
Hak - hak asasi manusia melekat pada pribadi seseorang hanya karena orang tersebut adalah manusia. Hak - hak ini dimiliki oleh semua manusia termasuk penyandang cacat tanpa diskriminasi. Karena itu, Negara tidak dapat “memberi” Anda hak - hak asasi anda; mereka hanya bisa “mengakui” hak - hak ini, yang wajib mereka penuhi.

Definisi lain untuk hak - hak asasi manusia adalah kebutuhan dasar universal yang tanpanya orang tidak dapat hidup dengan penuh harkat dan martabat.

Hak - hak asasi manusia tidak dapat disangkal: Anda tidak dapat kehilangan hak - hak ini seperti halnya Anda tidak dapat berhenti menjadi manusia.

Hak - hak asasi manusia tidak dapat dipisah - pisahkan: siapapun tidak bisa menolak salah satu dari hak - hak Anda hanya karena hak tersebut dianggap “kurang penting” atau “tidak penting”

Hak asasi manusia saling berkaitan: seluruh hak asasi manusia merupakan bagian dari suatu kerangka kerja yang saling melengkapi. Sebagai contoh, kemampuan Anda untuk berperan serta dalam pemerintahan secara langsung dipengaruhi oleh hak Anda untuk mengekspresikan diri, memperoleh pendidikan, atau bahkan memperoleh kebutuhan hidup seperti pangan dan papan.

Pandangan terhadap hak asasi manusia ini dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB sebagai “fondasi (landasan) kemerdekaan, keadilan dan kedamaian di dunia.” Menurut pandangan ini, semua orang, termasuk penyandang cacat, memiliki hak - hak dan kemerdekan (kebebasan) yang sama. Di antaranya meliputi:
  • Hak untuk hidup
  • Hak untuk memperoleh kewarganegaraan
  • Hak untuk memiliki properti
  • Hak untuk menikah dan berkeluarga
  • Hak untuk tidak terganggu privasinya
  • Perlindungan hukum
  • Kesetaraan di depan hukum
  • Kebebasan dari kekerasan / penganiayaan
  • Kebebasan berpikir, kesadaran dan beragama
  • Kebebasan berpendapat dan berekspresi
  • Kebebasan berkumpul dan berserikat dengan damai
  • Hak untuk memperoleh proses peradilan oleh pengadilan yang independen dan tidak memihak
  • Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan di negaranya
  • Hak untuk memperoleh jaminan sosial
  • Hak untuk bekerja
  • Hak untuk memperoleh hari libur
  • Hak untuk memperoleh pangan, sandang, papan dan perawatan kesehatan yang layak
  • Hak untuk memperoleh pendidikan
  • Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan kultural di dalam masyarakat
  • Hak untuk memperoleh pemulihan efektif apabila hak - haknya dilanggar

Hak - hak ini merupakan dasar dari kerangka kerja yang lebih detil dari 7 kesepakatan mengenai hak - hak asasi manusia, yang dijelaskan lebih lanjut dalam Bab III di bawah ini.

2. Konsep utama yang melandasi hak asasi penyandang cacat

Dalam dua dasawarsa terakhir, masyarakat kecacatan global telah berusaha untuk memerangi persepsi terhadap kecacatan sebagai obyek kegiatan amal atau orang sakit yang membutuhkan kesembuhan, dan untuk mendefinisikan ulang penyandang cacat sebagai anggota masyarakat yang memiliki kontribusi penting dalam keluarga dan masyarakatnya. Pemikiran yang telah berubah ini, sering disebut sebagai “model sosial” dari kecacatan, menekankan bahwa penyandang cacat terhalang kesempatannya dalam mencapai potensi penuh mereka bukan oleh kecacatan mereka namun oleh perilaku tidak sehat dan tidak mendukung dari masyarakat. Pemikiran semacam ini berfokus pada dan mengkaji pembatasan yang diberlakukan kepada penyandang cacat oleh lingkungan sosial dan fisik di mana mereka tinggal. 
Meskipun tidak ada suatu definisi tunggal dari kecacatan, gagasan kecacatan sebagai konsep yang terus berkembang
Mengurangi pembatasan yang diciptakan oleh lingkungan eksternal ini menuntut pelengkapan model sosial ini dengan pendekatan berbasis hak yang:
  • Mengakui penyandang cacat sebagai pemilik hak yang dapat dan seharusnya dapat menentukan jalan hidup mereka sendiri, hak yang sama luasnya sebagaimana anggota masyarakat yang lain;
  • Menunjukkan pembatasan-pembatasan yang dipaksakan oleh lingkungan sosial dan fisik sebagai pelanggaran terhadap hak-hak penyandang cacat1
  • Mendorong hak-hak penyandang cacat untuk hidup secara mandiri sebagai individu yang otonom dengan akses terhadap sarana-sarana yang mereka butuhkan untuk mengambil keputusan berkaitan dengan hidup mereka sendiri.
Usaha-usaha yang telah dijalankan oleh penyandang cacat seluruh dunia ini telah menghasilkan pengakuan dalam Konvensi pertama PBB tentang Hak Asasi Manusia tahun 2006 semata-mata bagi orang-orang dengan beraneka macam kecacatan.

BAGIAN II: HUKUM INTERNASIONAL DAN PEDOMAN YANG MELINDUNGI HAK-HAK ASASI PENYANDANG CACAT

Hukum dan pedoman menempatkan jenis kewajiban pemerintah yang berbeda-beda – untuk menghormati, untuk memajukan, dan untuk melindungi hak asasi. Kewajiban untuk menghormati merupakan kewajiban negatif dan berarti bahwa pemerintah tak dapat mengambil suatu tindakan apapun yang melanggar hak asasi. Kewajiban untuk memajukan dan memenuhi merupakan kewajiban positip dan berarti bahwa pemerintah harus melakukan penilaian proaktif untuk memenuhi hak-hak ini sebagai tindakannya sendiri. Kewajiban untuk melindungi merupakan kewajiban pihak ketiga yang berarti bahwa pemerintah harus menjamin bahwa tindakan-tindakan masyarakat yang berada dalam batas kekuasaan atau kewenangannya tidak melanggar hak asasi masyarakat yang lain.

Hukum-hukum dan pedoman-pedoman berdampak terhadap hak-hak penyandang cacat dalam dua cara. Beberapa Undang-undang secara khusus mengatur hak-hak asasi dan memperhatikan soal pelanggaran-pelanggaran. Undang-undang ini didukung oleh Undang-undang lain yang berkaitan dengan masalah-masalah utama, seperti pendidikan dan transportasi, yang memiliki implikasi khusus bagi penyandang cacat, misalnya, pendidikan inklusi atau transportasi umum yang aksesibel.
Undang-undang dan pedoman-pedoman semacam ini mempunyai implikasi terhadap hak-hak penyandang cacat dari tingkat internasional sampai dengan tingkat lokal.

1.Konvensi-konvensi Hak-hak asasi dan Kewajiban Indonesia untuk menghormatinya

Konvensi-konvensi (juga disebut perjanjian) menentukan kewajiban-kewajiban resmi dan mengikat bagi pemerintah. Ketika suatu pemerintah meratifikasi sebuah perjanjian, ini menjadi suatu Keterlibatan Negara terhadap perjanjian tersebut dan menghasilkan suatu komitmen untuk melindungi serta menjalankan hak-hak dan kebebasan yang dijamin oleh perjanjian tersebut. The UN cannot force governments to keep their treaty obligation or punish them when they violate a treaty. However the UN bodies designated to monitor implementation of a treaty can criticize a government, holding it up to public embarrassment before the rest of the world.
Terdapat sejumlah perjanjian semacam ini dalam kerangka kerja hukum hak-hak asasi internasional. Semua itu dapat diterapkan bagi para penyandang cacat. Perjanjian-perjanjian yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia terdaftar di bawah ini beserta dengan waktu ratifikasinya:

Konvensi tentang Hak-hak Anak (CRC), September 1990
Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), September 1984
Konvensi tentang Hak-hak Sipil dan Politik (CCPR), februari 2006
Konvensi tentang Hak-hak Sosial, Ekonomi dan Budaya (CESCR), Februari 2006
Konvensi anti Penyiksaan (CAT), oktober 1998
Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD), Juni 1999

2. Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Cacat1

Penyandang cacat di Indonesia berhak atas perlindungan dari seluruh Konvensi yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Namun Konvensi-konvensi ini tidak memperlakukan lingkungan hukum, sosial, fisik yang unik dari penyandang cacat. Konvensi-konvensi ini tidak berbicara tentang halangan-halangan yang secara khusus dihadapi oleh penyandang cacat dalam menikmati hak-hak asasi manusia mereka yang mendasar seperti pendidikan, pekerjaan, akses terhadap bangunan dan transportasi, serta partisipasi dalam kehidupan publik.

Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Cacat memberikan perlindungan lebih khusus bagi para penyandang cacat daripada traktat hak-hak asasi manusia di atas karena:

  • Memberikan model yang berwenang bagi pemerintah Indonesia untuk digunakan dalam membentuk Undang-undang dan kebijakan nasional
  • Akan secara resmi mengikat pemerintah Indonesia untuk bertanggungjawab atas perlindungan bagi hak-hak penyandang cacat segera setelah ia meratifikasi traktat tersebut
  • Memperjelas prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam konteks penyandang cacat
  • Menetapkan standar-standar internasional berkenaan dengan hak-hak dan kebebasan penyandang cacat
  • Menciptakan mekanisme yang lebih efektif untuk monitoring hak-hak penyandang cacat.1
Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Cacat bisa menjadi alat yang berharga dalam memajukan pendekatan-pendekatan berbasis hak terhadap kecacatan karena alasan-alasan berikut:

  • Menunjukkan kaitan erat dengan hak asasi manusia – ini berarti mengaitkan masalah kecacatan dengan seluruh cakupan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, dan ini sama artinya dengan membicarakan masalah kecacatan dengan menggunakan bahasa hak asasi manusia. Konvensi ini memang demikian, berarti bahwa kita dapat menggunakan Konvensi sebagai alat yang membantu ketika kita berpikir tentang bagaimana menempatkan advokasi kita dalam bingkai terminologi berbasis hak. Misalnya ketika kita mendiskusikan kebutuhan akan pendidikan kaum muda penyandang cacat, Konvensi membantu kita untuk membicarakan masalah ini tidak hanya sebagai “kebutuhan”, melainkan juga sebagai hak-hak yang harus dijalankan sesuai hukum. Demikian juga, karena seluruh hak asasi manusia itu saling berkaitan dan saling bergantung (yang berarti bahwa menikmati setiap hak kita mengakibatkan kemampuan untuk menikmati hak-hak yang lain), suatu pendekatan berbasis hak juga akan menuntut kita untuk memikirkan hak-hak lain manakah yang penting untuk dapat menikmati hak akan pendidikan. Misalnya, disamping aksesibilitas terhadap sekolah dan penyediaan akomodasi bagi para siswa penyandang cacat, dsb… berpikir dalam terminologi berbasis hak akan mendorong kita untuk juga mempertimbangkan masalah-masalah seperti: kebebasan bergerak, dan apakah para siswa mendapatkan akses terhadap alat transportasi untuk dapat mencapai sekolah; hak atas standar hidup yang layak, serta apakah para siswa memiliki akses terhadap makanan, air, tempat tinggal dan pakaian yang mereka butuhkan untuk dapat menjalankan yang terbaik di sekolah; hak atas kesehatan, dan apakah para siswa memiliki akses terhadap pelayanan perawatan kesehatan yang mereka butuhkan agar cukup sehat untuk belajar di sekolah dan menjalankan yang terbaik, apakah perawatan kesehatan yang demikian ini diberikan berdasarkan persetujuan yang bebas dan diketahui, dan apakah para siswa terbebas dari intervensi-intervensi medis untuk mengontrol sikap; dan apakah para siswa penyandang cacat memiliki akses terhadap dukungan atas pilihan mereka sendiri. Dengan demikian, menerapkan pendekatan berbasis-hak bagi masalah-masalah kecacatan memberikan kerangka yang berguna yang dapat kita gunakan untuk menilai seluruh cakupan faktor dan hak-hak yang secara positip atau negatif mempengaruhi kita dalam menikmati hak-hak tertentu.

  • Akuntabilitas – menggunakan pendekatan berbasis-hak berarti mewajibkan untuk mengidentifikasi siapakah yang menjadi pemegang-hak (masyarakat yang menuntut hak-haknya) dan siapakah pemegang-kewajiban (masyarakat yang memiliki kewajiban untuk melindungi dan memajukan penerimaan hak-hak yang dituntut, yaitu mereka semestinya tidak melanggar hak-hak tersebut dan mereka harus mengambil tindakan untuk memastikan penerimaan hak-hak oleh para pemegang-hak). Menurut undang-undang internasional, pemerintah di tingkat nasional/dalam negerilah yang sepenuhnya bertanggungjawab terhadap penerimaan hak-hak asasi manusia di negaranya. Namun demikian, aktor-aktor lain, termasuk aktor-aktor swasta (seperti perusahaan-perusahaan, individu, dsb), dapat bertindak untuk memajukan penerimaan hak-hak asasi manusia ini atau menjualnya dengan harga rendah. Selama pemerintah dapat menjalankan kontrol terhadap mereka (misalnya melalui perundang-undangan dan peraturan), pemerintah juga
    • bertanggungjawab atas perilaku aktor-aktor swasta ini. Pengidentifikasian atas seluruh cakupan para pemegang-tanggungjawab dapat membantu kita untuk secara efektif mengarahkan advokasi kita dan memastikan bahwa seluruh aktor yang berkaitan menjalankan tanggungjawab atas perlindungan dan kemajuan hak-hak asasi manusia kita.

    • Pemberdayaan dan Partisipasi – para pemegang hak semestinya diberi “kekuatan, kapasitas, kecakapan dan akses” yang mereka butuhkan untuk secara aktif menuntut hak-hak asasi mereka dan bertanggungjawab atas hidup mereka sendiri. Ini juga mencakup usaha memajukan partisipasi penyandang cacat sebagaimana dituntut di dalam Konvensi – pemerintah semestinya berkonsultasi dengan para penyandang cacat dan organisasi-organisasi yang mewakilinya dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
    • Pemerintah Indonesia telah menandatangai Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat pada tanggal 30 Maret 20071. Namun demikian, supaya Konvensi ini membawa perubahan yang konkret dan positip dalam kehidupan penyandang cacat di Indonesia, ia perlu diratifikasi dan 
      dijalankan oleh pemerintah. Proses ratifikasi ini akan menuntut tindakan-tindakan oleh pemerintah pada tingkat nasional dan internasional.1

      3. Ratifikasi dan Pelaksanaan Konvensi Hak Penyandang Cacat

      Pada tingkat nasional ratifikasi ini berarti bahwa Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk:
      • secara luas meninjau kembali perundang-undangan nasionalnya
      • mencabut perundang-undangan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban dari konvensi
      • Mengubah perundang-undangan yang tidak cocok sehingga selaras dengan kewajiban-kewajiban ini

Sektor utama yang bertanggungjawab untuk menggerakkan proses ratifikasi Konvensi selanjutnya adalah Kementerian Hukum dan Hak asasi Manusia (DepKumHam) karena ini merupakan pakta hak asasi manusia. Selanjutnya, Kementerian ini bertanggungjawab untuk mengajukan suatu alat ratifikasi kepada Parlemen, yaitu, suatu rekomendasi supaya Parlemen menyetujui ratifikasi atas Konvensi. 2

Selanjutnya pada tingkat internasional pemerintah akan berkomitmen secara resmi untuk diikat secara hukum oleh Konvensi, komitmen ini akan dicatat di dalam PBB, pada titik mana pemerintah Indonesia akan menjadi Negara Yang terlibat dalam konvensi.

Tidak ada batas waktu berapa lama suatu Negara dituntut untuk meratifikasi suatu perjanjian yang telah ditandatanganinya. Oleh karena itu ada suatu peran penting yang harus dijalankan oleh Organisasi-organisasi Penyandang Cacat Indonesia untuk memastikan bahwa reformasi hukum dan proses ratifikasi dalam pemerintahan Indonesia terus berlanjut tanpa penundaan-penundaan.

4. Pedoman-pedoman Internasional lain yang secara khusus memperhatikan Penyandang Cacat.

Peraturan-Peraturan Standar PBB untuk Penyetaraan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat, yang diadopsi pada tahun 1993, menunjukkan suatu langkah maju yang penting dengan memperkenalkan model sosial kecacatan dan secara mendasar mengubah cara berpikir masyarakat tentang kecacatan. 3 Ini meliputi :

Bagian 1: “Prasyarat-prasyarat bagi Partisipasi yang Setara” menyiapkan peraturan-peraturan tentang perawatan medis, rehabilitasi, dan berbagai macam bentuk pelayanan pendukung, serta kebutuhan dan pentingnya penanaman kesadaran untuk melawan stereotip-stereotip negatif.

Bagian 2: “Bidang-Bidang Sasaran bagi Partisipasi yang Setara” memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup, seperti akses terhadap kegiatan-kegiatan dan pelayanan, pekerjaan, pendidikan, kehidupan dan keutuhan keluarga, kebudayaan, rekreasi dan olah raga, serta agama.

Bagian 3: “Mekanisme Pelaksanaan” menyediakan kerangka kerja untuk memastikan bahwa hak-hak penyandang cacat terwujud. Ini menekankan bahwa Peraturan-peraturan Standar PBB dapat menjadi efektif hanya jika para penyandang cacat dan organisasi-organisasi mereka terlibat pada semua tingkat perencanaan masyarakat.

Pada tahun 1983, Konvensi ILO 159 berkaitan dengan rehabilitasi Kejuruan dan Pekerjaan bagi Penyandang Cacat diadopsi oleh Organisasi Buruh Internasional. Instrumen ini juga menunjukkan langkah maju yang cukup berarti dalam penggeseran dari bentuk-bentuk kerja yang “tersembunyi” menuju kepada kewajiban negara “untuk mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kesempatan-kesempatan kerja bagi para penyandang cacat dalam bursa kerja yang terbuka”, “untuk berkonsultasi dengan organisasi-organisasi perwakilan dari dan bagi para penyandang cacat”, untuk “membangun dan mengembangkan rehabilitasi kejuruan dan pelayanan pekerjaan bagi para penyandang cacat di daerah-daerah pedesaan dan masyarakat-masyarakat yang terpencil”, semuanya dengan tujuan melanjutkan “penyatuan atau penyatuan kembali para penyandang cacat ke dalam masyarakat”. Konvensi ini belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Jika telah diratifikasi, ini akan menciptakan mekanisme pelaksanaan dan monitoring yang aktif yang disusun oleh perwakilan-perwakilan pemerintah, buruh dan para majikan.1

5. Hukum dan Pedoman-Pedoman di Wilayah Asia

Pada tahun 2003 Dewan Ekonomi dan Sosial wilayah Asia Pasifik (ESCAP), badan antarpemerintah regional PBB di mana Pemerintah Indonesia juga terwakilkan di dalamnya, telah mengadopsi Kerangka kerja Milenium Biwako (BMF)2. Ini merupakan seperangkat rekomendasi bagi tindakan oleh Pemerintah-Pemerintah di wilayah tersebut dan oleh para pihak yang berkepentingan “untuk mencapai masyarakat inklusif, bebas penghalang dan berbasis-hak bagi para penyandang cacat dalam Dasawarsa baru bagi Penyandang cacat di wilayah Asia Pasifik, 2003-2013.” Seperangkat rekomendasi ini mengenalkan tujuh bidang bagi prioritas tindakan dalam dasawarsa baru. Setiap bidang prioritas berisi masalah-masalah penting, sasaran-sasaran dan tindakan yang dibutuhkan. Salah satu dari bidang prioritas itu menuntut kemajuan pendekatan berbasis-hak untuk meningkatkan persoalan kecacatan yang mencatat bahwa “secara global, lebih dari 40 negara telah mengadopsi Undang-undang anti diskriminasi terhadap penyandang cacat, namun baru 9 negara di wilayah Asia dan Pasifik yang menjalankannya”. Sampai saat ini belum ada undang-undang anti diskriminasi khusus penyandang cacat di Indonesia. BMF merupakan landasan bagi pengembangan Rencana Aksi Nasional Penyandang Cacat 2003-2013.

BAB III: UNDANG-UNDANG DAN PANDUAN NASIONAL DAN DAERAH YANG MELINDUNGI HAK-HAK PENYANDANG CACAT

1. Di tingkat Nasional

Produk hukum nasional3, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, meliputi\

  • 1.
    1. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
    UUD 1945 diubah dan ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
    1. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
    Undang-Undang dibuat untuk mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 atau mengatur lebih lanjut Undang-Undang sebelumnya. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang, tetapi Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat diajukan oleh DPR maupun oleh Presiden. RUU disahkan menjadi Undang-Undang oleh Presiden.
    Perpu dibuat dalam hal ikhwal kepentingan yang memaksa, misalnya adanya kekosongan hukum yang mengatur suatu masalah atau peristiwa yang muncul padahal masalah atau peristiwa tersebut harus secepatnya diselesaikan. Perpu ditetapkan oleh Presiden. Perpu harus mendapat persetujuan DPR dan jika tidak mendapat persetujuan DPR maka Perpu harus dicabut.
    1. Peraturan Pemerintah (PP)
    PP ditetapkan oleh Presiden untuk melaksanakan Undang-Undang (UU)
    1. Peraturan Presiden (Perpres)
    Perpres ditetapkan oleh Presiden untuk melaksanakan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.
    1. Peraturan Daerah (Perda)
    Perda adalah peraturan di tingkat Propinsi, Kabupaten atau Kota. Perda dibuat dalam rangka:
    • penyelenggaraan otonomi daerah,
    • penyelenggaraan tugas pembantuan yang diberikan pemerintah pusat,
    • menampung kondisi khusus daerah,
    • penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

    • Urutan di atas menunjukkan hierarki peraturan perundang-undangan. Nomor pertama merupakan produk hukum tertinggi.

      Di samping jenis produk hukum yang telah disebutkan di atas, di tingkat nasional juga dimungkinkan jenis produk hukum yang lain, antara lain :
      1. Peraturan yang dibuat oleh Menteri
      2. Peraturan yang dibuat Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi
      Peraturan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat apabila pembentukannya diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

      Ada sejumlah perundang-undangan di Indonesia yang dapat digunakan untuk memajukan hak asasi manusia para penyandang cacat, yang terdiri dari perundang-undangan yang bersifat umum dan perundang-undangan yang bersifat khusus. 1 Sebagian besar instrumen hukum mengatur hak asasi manusia yang bersifat umum bagi seluruh warga negara Indonesia, termasuk para penyandang cacat. Ada juga instrumen hukum yang lain yang mengatur hak asasi manusia secara khusus bagi para penyandang cacat. Namun sudah menjadi masalah umum bahwa meskipun telah ada perundang-undangan yang memadai, perundang-undangan ini jarang dilaksanakan. Seringkali, para pembuat kebijakan ternyata tidak sepenuhnya menyadari akan semua perundang-undangan yang relevan. Sangatlah tergantung kepada para penyandang cacat itu sendiri untuk mendidik diri mereka sendiri berkaitan dengan cakupan instrumen-instrumen hukum yang tersedia yang dapat mereka gunakan untuk memenuhi hak-hak mereka.Dengan mengetahui instrumen hukum yang ada, diharapkan penyandang cacat dapat melakukan advokasi terhadap dirinya apabila hak asasi manusianya dilanggar.

      Annex 5 meninjau suatu kompilasi hukum di Indonesia yang dapat digunakan untuk melindungi hak asasi penyandang cacat. Terdapat kelemahan dalam banyak instrumen hukum tersebut - bahasa yang kurang jelas, ambigu, atau berbelas kasihan, yang seringkali mengakibatkan tidak adanya implementasi hukum. Namun demikian, instrumen hukum tersebut merupakan suatu kesempatan bagi penyandang cacat untuk campur tangan dan meminta lembaga terkait untuk bertanggung jawab atas kurangnya penerapan hukum yang berlaku. Karenanya, keberadaan instrumen hukum di atas, meskipun masih terdapat sejumlah kelemahan, mestinya dapat didayagunakan oleh penyandang cacat untuk memperjuangkan hak-haknya, baik melalui kegiatan kampanye, pemantauan, usulan kebijakan, maupun pembelaan secara langsung terhadap hak-haknya yang dilanggar, misalnya advokasi secara litigasi dan nonlitigasi, cara informal dari advokasi individu.Beberapa contoh bagaimana melakukannya dijelaskan di Bagian III panduan ini.

      2. Di tingkat Daerah

      Instrumen hukum di tingkat desa, kota, kabupaten dan propinsi dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemegang pemerintahan desa dapat melindungi hak-hak penyandang cacat di tingkat daerah.

      Rancangan Perda (Raperda) dapat diajukan oleh pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) di propinsi, kabupaten atau kota. Raperda disahkan menjadi Perda oleh kepala daerah (gubernur, bupati, walikota).

      Di tingkat desa dapat dibuat Peraturan Desa (Perdes) untuk penyelenggaraan urusan desa dan penjabaran lebih lanjur peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) dapat diajukan oleh Kepala Desa atau Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan ditetapkan oleh Kepala Desa.

      Selain yang disebutkan di atas, ada juga kebiasaan dan peraturan di tingkat desa, atau segala jenis “adat kebiasaan” yang juga memuat hak asasi manusia seperti halnya intrumen-instrumen hukum tersebut.

      BAB IV: PENGUATAN LEMBAGA UNTUK MEMAJUKAN HAK-HAK PENYANDANG CACAT DI TINGKAT LOKAL

      Konvensi Hak Penyandang Cacat menuntut pemerintah yang telah meratifikasinya agar menunjuk satu atau lebih pusat aktivitas untuk memonitor pelaksanaan kewajiban-kewajiban Pemerintah yang terdapat dalam Konvensi1. Mekanisme semacam ini harus bebas dari campurtangan pemerintah. Ini juga harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang diterima secara internasional berkaitan dengan kedudukan dan fungsi lembaga-lembaga hak asasi manusia

        •  
          nasional, yang disebut Prinsip-prinsip Paris.1 Menurut prinsip-prinsip ini lembaga-lembaga semacam ini seharusnya:
          • Memiliki kekuatan untuk mengajukan pandangan apapun mengenai perlindungan dan kemajuan hak-hak asasi manusia kepada pemerintah maupun parlemen baik atas permintaan mereka maupun berdasarkan inisiatif sendiri. Ini bisa meliputi anjuran perubahan legislatif, dorongan ratifikasi atas instrumen-instrumen hak-hak asasi manusia, dan pengangkatan kasus-kasus pelanggaran individual.
          • Memiliki keanggotaan yang plural, meliputi perwakilan dari NGO, akademisi dan parelemen. Departemen-departemen pemerintah dapat berpartisipasi dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan hanya dalam kedudukannya sebagai penasehat.
          • Memiliki sumber pembiayaan yang memadai yang memungkinkannya memiliki staf dan kantor sendiri, supaya bebas dari campurtangan pemerintah dan tidak menjadi sasaran kontrol finansial yang mungkin mempengaruhi kemandiriannya.
          • Memiliki mandat tetap, dan anggota-anggotanya sebaiknya ditunjuk melalui keputusan resmi dan dengan masa jabatan tertentu sehingga sifatnya yang plural dan mandiri tetap terjaga.
          • Menyebarluaskan usaha-usaha mereka melalui peningkatan kesadaran publik, terutama melalui informasi dan pendidikan serta melalui pemanfaatan seluruh organ pers.

          Konvensi Hak Penyandang Cacat juga menuntut masyarakat sipil, terutama para penyandang cacat dan organisasi-organisasi yang mewakilinya, untuk terlibat secara penuh dalam proses monitoring.

          Terdapat beberapa lembaga dalam struktur pemerintahan Indonesia yang memiliki tanggungjawab terhadap persoalan-persoalan kecacatan – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Departemen Sosial (DEPSOS), dan Departemen Hukum dan HAM (DEPKUMHAM) 2. Dari antara semua itu, hanya mandat Komisi Nasional Hak Asasi Manusialah yang memenuhi kriteria sebagai lembaga hak asasi manusia. Menteri Sosial adalah yang paling bertanggungjawab secara langsung berkaitan dengan para penyandang cacat dalam kapasitas pelayanan sosial. Departemen Hukum dan HAM memiliki tanggungjawab untuk menjadi sektor utama dalam mendorong proses ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Cacat selanjutnya dalam diri pemerintah.

          Organisasi-organisasi masyarakat sipil perlu mengambil keputusan-keputusan yang terinformasikan mengenai bagaimana terlibat secara produktif dalam monitoring hak-hak penyandang cacat di tingkat lokal, dan membagikan apa yang telah mereka pelajari bersama dengan teman-teman di tingkat nasional. Karena alasan ini mereka seharusnya memahami peran-peran dan tanggungjawab-tanggungjawab lembaga-lembaga ini, dan tingkat kemandiriannya, dalam kaitannya dengan ratifikasi Konvensi, pelaksanaan dan proses monitoring.

          BAB V: ADVOKASI HAK-HAK PENYANDANG CACAT – OLEH, UNTUK, BERSAMA DENGAN PENYANDANG CACAT

          Walaupun pemberian hak dan perlindungan secara hukum telah diberikan oleh beragam mekanisme seperti undang-undang nasional dan internasional serta lembaga-lembaga HAM nasional, hambatan-hambatan masih saja menghalangi para penyandang cacat untuk terlibat
          secara penuh sebagai anggota masyarakat. Perlindungan-perlindungan hukum belumlah memadai atau belum dijalankan. Hak-hak penyandang cacat masih tetap diabaikan atau dilanggar.
          Dengan demikian terdapat kebutuhan bagi peyandang cacat untuk menjadi agen perubahan, untuk terlibat secara langsung dalam perjuangan mengubah sikap, membuat peka masyarakat dan pemerintah, memperbaharui hukum dan menjadikan pemerintah bertanggungjawab. Ini merupakan perjuangan di mana penyandang cacat harus menemukan sekutu di antara organisasi-organisasi masyarakat sipil pada umumnya.

          Upaya-upaya advokasi semacam ini selanjutnya akan mencerminkan maupun membantu menyadari prinsip-prinsip hak asasi manusia yang mendasar yang sangat penting bagi penyandang cacat.



          Related Posts:

          ADVOKASI


          BAB I  : APA ITU ADVOKASI


          Advokasi merupakan upaya-upaya dari atau atas nama individu-individu maupun kelompok yang diperlakukan secara tidak adil untuk mempengaruhi keputusan-keputusan dan perilaku masayrakat yang memiliki kekuasaan untuk menghentikan ketidakadilan tersebut. Upaya-upaya semacam ini direncanakan untuk mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan di dalam lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat sipil.

          Advokasi terdiri dari tindakan-tindakan untuk mendesakkan perubahan atas kebijakan-kebijakan pemerintah dan sikap-sikap masyarakat yang berdampak terhadap kehidupan penyandang cacat di tingkat lokal, propinsi maupun nasional. Dalam bidang hak asasi penyandang cacat, pentinglah dicatat bahwa upaya advokasi apapun harus meliputi pendidikan dan pembangunan kesadaran yang berkelanjutan sepanjang waktu

          Advokasi jarang menggunakan tindakan tunggal untuk mencapai perubahan. Sebaliknya, para pembela dan organisasi-organisasi advokasi mengembangkan suatu strategi, yang berisikan banyak macam tindakan yang seringkali kecil-kecil dan bertahap.

          Tindakan-tindakan itu misalnya:

          Tindakan-tindakan Edukatif:

          Apakah kita memiliki fakta-rakta yang kita butuhkan berkaitan dengan pokok persoalan ini? (penelitian dan analisis)
          Bagaimana kita dapat mendorong perhatian masyarakat terhadap suatu persoalan ini? (public outreach)
          Bagaimana kita dapat mengubah sikap orang terhadap persoalan ini? (pendidikan dan  
          pelatihan)

          Tindakan-tindakan Politis:

          Bagaimana kita dapat mengarahkan para penentu kebijakan pemerintah untuk mengubah atau menjalankan kebijakan yang mengarah kepada persoalan ini? (lobi)

          Tindakan-tindakan Hukum1:

          Apakah undang-undang baru diperlukan untuk memperhatikan persoalan ini?
          apakah undang-undang yang ada perlu dicabut?
          Apakah undang-undang yang sudah ada perlu dijalankan oleh pengadilan atau agen administratif pemerintah?


          Advokasi dihasilkan oleh suatu penilaian yang realistis terhadap lingkungan internal maupun eksternal di mana penyandang cacat dan organisasi-organisasi yang mewakilinya bekerja. Penilaian semacam ini harus memperhitungkan kekuatan-kekuatan dan kemampuan internal organisasi, dan mengidentifikasi ancaman serta peluang dari lingkungan eksternal yang dapat mendukung maupun menghalangi upaya-upaya advokasi.

          Supaya menjadi lebih efektif, upaya-upaya semacam ini menuntut perencanaan strategis dan metodologi yang telah dipikirkan masak-masak. Pedoman umum proses perencanaan ini digambarkan dalam bagan berikut2:

          Dalam gerakan penyandang cacat, advokasi tidak hanya berarti tindakan membela atau mendukung para penyandang cacat. Yang lebih penting dari itu, ini berarti tindakan menempatkan diri bersama-sama dengan para penyandang cacat dalam tindakan-tindakan yang sistematis dan strategis untuk menghasilkan perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang positif. Ini berarti bahwa para penyandang cacat berbicara atas nama diri mereka sendiri.



          BAB II: PENYANDANG CACAT SEBAGAI AGEN PERUBAHAN


          Advokasi merupakan hal yang mendasar bagi penduduk yang terpinggirkan, termasuk para penyandang cacat, apabila mereka sungguh-sungguh terintegrasi ke dalam masyarakat dengan hak-hak dan tanggung jawab yang sama seperti anggota masyarakat yang lain.

          Namun demikian, agar para penyandang cacat menjadi agen perubahan sosial, mereka juga harus mengakui perlunya perubahan dalam sikap dan perilaku mereka sendiri. Dengan demikian perubahan harus terjadi dalam dua arah, bukan hanya pada tingkat sosial namun juga pada tingkat internal.

          Ini mencakup:

          Memiliki sikap penerimaan diri yang positip

          Seorang penyandang cacat yang tidak dapat menerima dirinya sendiri, membutuhkan perhatian khusus. Penerimaan diri berarti:
          • Bangga terhadap diri sendiri
          • Mencari yang terbaik untuk diri sendiri, mempergunakan sebaik-baiknya apa yang dimiliki
          • Berinisiatif untuk memahami sepenuhnya keadaan diri sendiri
          • Memperhatikan kesehatan karena penyandang cacat seringkali lebih rentan terhadap penyakit

          Mendidik diri sendiri

          Penyandang cacat hendaknya memiliki pemahaman yang jelas dan kuat tentang arti kecacatan sebagai masalah hak asasi manusia. Ini dijelaskan dalam Bagian I, Bab 2 di atas. Mereka hendaknya menanamkan hal ini dalam pemahaman mereka tentang hak-hak dan tanggungjawab mereka sebagai anggota masyarakat.

          Mendidik yang lain

          Halangan paling serius yang sering dihadapi oleh para penyandang cacat adalah kesulitan dalam mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan real dan pandangan-pandangan mereka. Hal ini dapat dikurangi dengan keterbukaan yang lebih besar dari para penyandang cacat, sehingga mereka menjadi lebih nyaman untuk mengungkapkan diri sendiri dan membagikan pengalaman untuk mencari jalan keluar. Keterbukaan semacam ini juga akan membantu para penyandang cacat untuk mencapai kepercayaan diri dan memberikan kepercayaan diri kepada yang lain untuk mengambil pilihan-pilihan atas kehidupan yang mandiri.

          Para tetangga, teman, guru dan bahkan anggota keluarga para penyandang cacat itu tidak akan pernah mengetahui secara persis kondisi seseorang penyandang cacat, sehingga para penyandang cacat hendaknya secara proaktif memberitahukan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri kepada mereka. Ini dapat diartikan, misalnya, keterbatasan seorang penyandang cacat dalam melakukan aktivitas tertentu, kebutuhan mereka akan bantuan mobilitas khusus, atau cara-cara bagaimana seorang asisten personal barangkali diperlukan dalam siatuasi tertentu. Penyandang cacat hendaknya menjelaskan bagaimana pemenuhan kebutuhan-kebtuhan ini akan mendorong pengambilan keputusan yang otonom – suatu tanda kebebasan bagi para penyandang cacat.

          Dengan cara demikian para penyandang cacat mendidik masyarakat mereka tentang kecacatan sebagai bagian wajar dari keragaman kemanusiaan. Mereka dapat menekankan perlunya 
          sensitivitas terhadap penyandang cacat dan pentingnya meminta serta memperhatikan secara aktif sumbangan-sumbangan mereka dalam semua hal yang penting bagi masyarakat.


          Berpihak kepada semua golongan penyandang cacat dan menjadi bagian dari gerakan dunia

          Para penyandang cacat pada umumnya membentuk organisasi-organisasi yang mewakilinya berdasarkan golongan kecacatan mereka. Ini terjadi karena agenda-agenda bersama mereka yang utama dibentuk oleh kebutuhan-kebutuhan konkret dan kusus mereka berkenaan dengan perlengkapan yang mendukung, pendidikan dan pekerjaan. Namun demikian, demi advokasi untuk memajukan perubahan sosial, kerjasama antar penyandang cacat merupakan hal yang penting. Organisasi-organisasi penyandang cacat perlu memahami tempat mereka dalam gerakan rakyat yang lebih luas yang kesempatan-kesempatannya yang setara telah ditolak karena keterbatasan-keterbatasan mereka – yang kadang-kadang memang nyata namun seringkali hanya merupakan anggapan. Organisasi-organisasi penyandang cacat itu sendiri mempunyai kewajiban untuk menerapkan prinsip inklusif dalam berelasi dengan yang lain. Ini berarti, misalnya, memastikan bahwa organisasi-organisasi penyandang cacat mental atau penyandang lepra yang juga dikenal sebagai penyandang cacat, secara setara dimasukkan dalam upaya-upaya advokasi. Dengan cara demikian, para penyandang cacat dapat menyampaikan pesan bersama tentang iklusi dan kemandirian dengan kekuatan yang lebih besar di tengah masyarakat pada umumnya.

          Related Posts: