1. Hak Asasi Manusia
Hak - hak asasi manusia melekat pada pribadi seseorang hanya karena orang tersebut adalah manusia. Hak - hak ini dimiliki oleh semua manusia termasuk penyandang cacat tanpa diskriminasi. Karena itu, Negara tidak dapat “memberi” Anda hak - hak asasi anda; mereka hanya bisa “mengakui” hak - hak ini, yang wajib mereka penuhi.
Definisi lain untuk hak - hak asasi manusia adalah kebutuhan dasar universal yang tanpanya orang tidak dapat hidup dengan penuh harkat dan martabat.
Hak - hak asasi manusia tidak dapat disangkal: Anda tidak dapat kehilangan hak - hak ini seperti halnya Anda tidak dapat berhenti menjadi manusia.
Hak - hak asasi manusia tidak dapat dipisah - pisahkan: siapapun tidak bisa menolak salah satu dari hak - hak Anda hanya karena hak tersebut dianggap “kurang penting” atau “tidak penting”
Hak asasi manusia saling berkaitan: seluruh hak asasi manusia merupakan bagian dari suatu kerangka kerja yang saling melengkapi. Sebagai contoh, kemampuan Anda untuk berperan serta dalam pemerintahan secara langsung dipengaruhi oleh hak Anda untuk mengekspresikan diri, memperoleh pendidikan, atau bahkan memperoleh kebutuhan hidup seperti pangan dan papan.
Pandangan terhadap hak asasi manusia ini dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB sebagai “fondasi (landasan) kemerdekaan, keadilan dan kedamaian di dunia.” Menurut pandangan ini, semua orang, termasuk penyandang cacat, memiliki hak - hak dan kemerdekan (kebebasan) yang sama. Di antaranya meliputi:
Hak untuk hidup
Hak untuk memperoleh kewarganegaraan
Hak untuk memiliki properti
Hak untuk menikah dan berkeluarga
Hak untuk tidak terganggu privasinya
Perlindungan hukum
Kesetaraan di depan hukum
Kebebasan dari kekerasan / penganiayaan
Kebebasan berpikir, kesadaran dan beragama
Kebebasan berpendapat dan berekspresi
Kebebasan berkumpul dan berserikat dengan damai
Hak untuk memperoleh proses peradilan oleh pengadilan yang independen dan tidak memihak
Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan di negaranya
Hak untuk memperoleh jaminan sosial
Hak untuk bekerja
Hak untuk memperoleh hari libur
Hak untuk memperoleh pangan, sandang, papan dan perawatan kesehatan yang layak
Hak untuk memperoleh pendidikan
Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan kultural di dalam masyarakat
Hak untuk memperoleh pemulihan efektif apabila hak - haknya dilanggar
Hak - hak ini merupakan dasar dari kerangka kerja yang lebih detil dari 7 kesepakatan mengenai hak - hak asasi manusia, yang dijelaskan lebih lanjut dalam Bab III di bawah ini.
2. Konsep utama yang melandasi hak asasi penyandang cacat
Dalam dua dasawarsa terakhir, masyarakat kecacatan global telah berusaha untuk memerangi persepsi terhadap kecacatan sebagai obyek kegiatan amal atau orang sakit yang membutuhkan kesembuhan, dan untuk mendefinisikan ulang penyandang cacat sebagai anggota masyarakat yang memiliki kontribusi penting dalam keluarga dan masyarakatnya. Pemikiran yang telah berubah ini, sering disebut sebagai “model sosial” dari kecacatan, menekankan bahwa penyandang cacat terhalang kesempatannya dalam mencapai potensi penuh mereka bukan oleh kecacatan mereka namun oleh perilaku tidak sehat dan tidak mendukung dari masyarakat. Pemikiran semacam ini berfokus pada dan mengkaji pembatasan yang diberlakukan kepada penyandang cacat oleh lingkungan sosial dan fisik di mana mereka tinggal.
Meskipun tidak ada suatu definisi tunggal dari kecacatan, gagasan kecacatan sebagai konsep yang terus berkembang
Mengurangi pembatasan yang diciptakan oleh lingkungan eksternal ini menuntut pelengkapan model sosial ini dengan pendekatan berbasis hak yang:
Mengakui penyandang cacat sebagai pemilik hak yang dapat dan seharusnya dapat menentukan jalan hidup mereka sendiri, hak yang sama luasnya sebagaimana anggota masyarakat yang lain;
Menunjukkan pembatasan-pembatasan yang dipaksakan oleh lingkungan sosial dan fisik sebagai pelanggaran terhadap hak-hak penyandang cacat
Mendorong hak-hak penyandang cacat untuk hidup secara mandiri sebagai individu yang otonom dengan akses terhadap sarana-sarana yang mereka butuhkan untuk mengambil keputusan berkaitan dengan hidup mereka sendiri.
Usaha-usaha yang telah dijalankan oleh penyandang cacat seluruh dunia ini telah menghasilkan pengakuan dalam Konvensi pertama PBB tentang Hak Asasi Manusia tahun 2006 semata-mata bagi orang-orang dengan beraneka macam kecacatan.
BAGIAN II: HUKUM INTERNASIONAL DAN PEDOMAN YANG MELINDUNGI HAK-HAK ASASI PENYANDANG CACAT
Hukum dan pedoman menempatkan jenis kewajiban pemerintah yang berbeda-beda – untuk menghormati, untuk memajukan, dan untuk melindungi hak asasi. Kewajiban untuk menghormati merupakan kewajiban negatif dan berarti bahwa pemerintah tak dapat mengambil suatu tindakan apapun yang melanggar hak asasi. Kewajiban untuk memajukan dan memenuhi merupakan kewajiban positip dan berarti bahwa pemerintah harus melakukan penilaian proaktif untuk memenuhi hak-hak ini sebagai tindakannya sendiri. Kewajiban untuk melindungi merupakan kewajiban pihak ketiga yang berarti bahwa pemerintah harus menjamin bahwa tindakan-tindakan masyarakat yang berada dalam batas kekuasaan atau kewenangannya tidak melanggar hak asasi masyarakat yang lain.
Hukum-hukum dan pedoman-pedoman berdampak terhadap hak-hak penyandang cacat dalam dua cara. Beberapa Undang-undang secara khusus mengatur hak-hak asasi dan memperhatikan soal pelanggaran-pelanggaran. Undang-undang ini didukung oleh Undang-undang lain yang berkaitan dengan masalah-masalah utama, seperti pendidikan dan transportasi, yang memiliki implikasi khusus bagi penyandang cacat, misalnya, pendidikan inklusi atau transportasi umum yang aksesibel.
Undang-undang dan pedoman-pedoman semacam ini mempunyai implikasi terhadap hak-hak penyandang cacat dari tingkat internasional sampai dengan tingkat lokal.
1.Konvensi-konvensi Hak-hak asasi dan Kewajiban Indonesia untuk menghormatinya
Konvensi-konvensi (juga disebut perjanjian) menentukan kewajiban-kewajiban resmi dan mengikat bagi pemerintah. Ketika suatu pemerintah meratifikasi sebuah perjanjian, ini menjadi suatu Keterlibatan Negara terhadap perjanjian tersebut dan menghasilkan suatu komitmen untuk melindungi serta menjalankan hak-hak dan kebebasan yang dijamin oleh perjanjian tersebut. The UN cannot force governments to keep their treaty obligation or punish them when they violate a treaty. However the UN bodies designated to monitor implementation of a treaty can criticize a government, holding it up to public embarrassment before the rest of the world.
Terdapat sejumlah perjanjian semacam ini dalam kerangka kerja hukum hak-hak asasi internasional. Semua itu dapat diterapkan bagi para penyandang cacat. Perjanjian-perjanjian yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia terdaftar di bawah ini beserta dengan waktu ratifikasinya:
Konvensi tentang Hak-hak Anak (CRC), September 1990
Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), September 1984
Konvensi tentang Hak-hak Sipil dan Politik (CCPR), februari 2006
Konvensi tentang Hak-hak Sosial, Ekonomi dan Budaya (CESCR), Februari 2006
Konvensi anti Penyiksaan (CAT), oktober 1998
Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD), Juni 1999
2. Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Cacat
Penyandang cacat di Indonesia berhak atas perlindungan dari seluruh Konvensi yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Namun Konvensi-konvensi ini tidak memperlakukan lingkungan hukum, sosial, fisik yang unik dari penyandang cacat. Konvensi-konvensi ini tidak berbicara tentang halangan-halangan yang secara khusus dihadapi oleh penyandang cacat dalam menikmati hak-hak asasi manusia mereka yang mendasar seperti pendidikan, pekerjaan, akses terhadap bangunan dan transportasi, serta partisipasi dalam kehidupan publik.
Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Cacat memberikan perlindungan lebih khusus bagi para penyandang cacat daripada traktat hak-hak asasi manusia di atas karena:
Memberikan model yang berwenang bagi pemerintah Indonesia untuk digunakan dalam membentuk Undang-undang dan kebijakan nasional
Akan secara resmi mengikat pemerintah Indonesia untuk bertanggungjawab atas perlindungan bagi hak-hak penyandang cacat segera setelah ia meratifikasi traktat tersebut
Memperjelas prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam konteks penyandang cacat
Menetapkan standar-standar internasional berkenaan dengan hak-hak dan kebebasan penyandang cacat
Urutan di atas menunjukkan hierarki peraturan perundang-undangan. Nomor pertama merupakan produk hukum tertinggi.
Di samping jenis produk hukum yang telah disebutkan di atas, di tingkat nasional juga dimungkinkan jenis produk hukum yang lain, antara lain :
Peraturan yang dibuat oleh Menteri
Peraturan yang dibuat Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi
Peraturan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat apabila pembentukannya diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Ada sejumlah perundang-undangan di Indonesia yang dapat digunakan untuk memajukan hak asasi manusia para penyandang cacat, yang terdiri dari perundang-undangan yang bersifat umum dan perundang-undangan yang bersifat khusus. Sebagian besar instrumen hukum mengatur hak asasi manusia yang bersifat umum bagi seluruh warga negara Indonesia, termasuk para penyandang cacat. Ada juga instrumen hukum yang lain yang mengatur hak asasi manusia secara khusus bagi para penyandang cacat. Namun sudah menjadi masalah umum bahwa meskipun telah ada perundang-undangan yang memadai, perundang-undangan ini jarang dilaksanakan. Seringkali, para pembuat kebijakan ternyata tidak sepenuhnya menyadari akan semua perundang-undangan yang relevan. Sangatlah tergantung kepada para penyandang cacat itu sendiri untuk mendidik diri mereka sendiri berkaitan dengan cakupan instrumen-instrumen hukum yang tersedia yang dapat mereka gunakan untuk memenuhi hak-hak mereka.Dengan mengetahui instrumen hukum yang ada, diharapkan penyandang cacat dapat melakukan advokasi terhadap dirinya apabila hak asasi manusianya dilanggar.
Annex 5 meninjau suatu kompilasi hukum di Indonesia yang dapat digunakan untuk melindungi hak asasi penyandang cacat. Terdapat kelemahan dalam banyak instrumen hukum tersebut - bahasa yang kurang jelas, ambigu, atau berbelas kasihan, yang seringkali mengakibatkan tidak adanya implementasi hukum. Namun demikian, instrumen hukum tersebut merupakan suatu kesempatan bagi penyandang cacat untuk campur tangan dan meminta lembaga terkait untuk bertanggung jawab atas kurangnya penerapan hukum yang berlaku. Karenanya, keberadaan instrumen hukum di atas, meskipun masih terdapat sejumlah kelemahan, mestinya dapat didayagunakan oleh penyandang cacat untuk memperjuangkan hak-haknya, baik melalui kegiatan kampanye, pemantauan, usulan kebijakan, maupun pembelaan secara langsung terhadap hak-haknya yang dilanggar, misalnya advokasi secara litigasi dan nonlitigasi, cara informal dari advokasi individu.Beberapa contoh bagaimana melakukannya dijelaskan di Bagian III panduan ini.
2. Di tingkat Daerah
Instrumen hukum di tingkat desa, kota, kabupaten dan propinsi dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemegang pemerintahan desa dapat melindungi hak-hak penyandang cacat di tingkat daerah.
Rancangan Perda (Raperda) dapat diajukan oleh pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) di propinsi, kabupaten atau kota. Raperda disahkan menjadi Perda oleh kepala daerah (gubernur, bupati, walikota).
Di tingkat desa dapat dibuat Peraturan Desa (Perdes) untuk penyelenggaraan urusan desa dan penjabaran lebih lanjur peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) dapat diajukan oleh Kepala Desa atau Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan ditetapkan oleh Kepala Desa.
Selain yang disebutkan di atas, ada juga kebiasaan dan peraturan di tingkat desa, atau segala jenis “adat kebiasaan” yang juga memuat hak asasi manusia seperti halnya intrumen-instrumen hukum tersebut.