Senin, 11 Mar 2013, |
|
KUPANG, TIMEX - Sebanyak 36 ribu warga NTT hidup sebagai penyandang cacat yang membutuhkan perhatian pemerintah untuk memperoleh hak dan kesempatan yang sama. Penyandang cacat di NTT diperlakukan tidak sama dalam memperoleh kesempatan kerja dan modal usaha.
Warga penyandang cacat tidak diberi kesempatan untuk kerja serta modal usaha. Namun kesempatan hanya diberikan kepada warga negara yang anggota tubuh tidak cacat dan modal usaha hanya diberikan kepada orang orang tertentu, meskipun penyandang cacat memiliki keterampilan yang jauh lebih baik, jika dibandingkan dengan saudara mereka yang tidak cacat. Ketua Dewan Pengurus Daerah Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) Provinsi NTT, Iwan Pongkpadang dalam acara sosialisasi mengenal apa itu para plegia yang berlangsung di Gereja Bukit Hermon Kolhua, Sabtu (9/3) mengatakan, sosialisasi para plagia untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang apa itu plagia. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di Kabupaten Belu, TTS dan Flores Timur, penanganan terhadap para plegia ada yang lumpuh serta ada tulang rontok akibat tidak mengerti dalam memberikan pertolongan. Untuk memberikan pemahaman perlu dilakukan sosialisasi sampai tiga kali. Kali pertama sosialisasi dilakukan di Kota Kupang yang berlangsung, Sabtu (9/3) di Gereja Bukit Hermon Kolhua. Sosialisasi kedua dilakukan di Kabupaten Belu yang berlangsung tanggal 12 Maret mendatang. Sosialisasi ketiga dilakukan di Kabupaten TTS. Untuk penyandang cacat di NTT sebanyak 36.000 orang yang tersebar di Kabupaten TTS sebanyak 4.800 orang dan penyandang cacat yang eks kusta sebanyak 1.800 orang. Menurut Iwan, para plagia para lysis permanen dari tubuh yang disebabkan oleh luka atau penyakit yang dipengaruhi oleh madullah spinalis. Pada luka madullah spinalis tulang belakang biasanya rusak di suatu tempat disepanjang tulang belakang tersebut akan tumbuh, tetapi jaringan saraf pada madullah spinalis tidak dapat sembuh. Kerusakan saraf inilah yang menyebabkan kekurangan permanen pada fungsi tulang. Dalam memperkenalkan keberadaan penyandang cacat ada dua hal yang harus dilakukan para penyandang cacat. Secara internal penyandang cacat harus percaya diri dan menjadi agen perubahan. Karena perubahan itu harus mulai dari diri sendiri, kalau tidak mulai dari diri sendiri, maka tidak akan terjadi perubahan. Secara eksternal pemerintah saat ini kurang respon terhadap penyandang cacat hal ini ditandai dengan kurang adanya sosialisasi tengang Undang-undang Nomor 19/2011 tentang penyandang cacat. Banyak masyarakat yang belum tahu tentang Undang-undang Nomor 19/2011 tentang Keberadaan Penyandang Cacat. Dikatakan, bila pemerintah daerah sangat tanggap terhadap penyandang cacat harus ada Peraturan Daerah (Perda) tentang Penyandang Cacat yang ada di kabupaten/kota masing-masing. Diakui, pemerintah mengabaikan para penyandang cacat seperti hari peringatan penyandang cacat sedunia hampir tidak pernah dilakukan. Yang terjadi hanya peringatan hari kesetiakawanan nasional. Sementara hari penyandang cacat tidak diperingati dan digabungkan dengan hari peringatan kesetiakawanan nasional. Dalam hari kesetiakawanan nasional seringkali penyandang cacat diajak untuk jalan santai. Sehingga dipandang masih ada diskriminasi terhadap para penyandang cacat. Masyarakat dunia masih memperhatikan hak-hak para penyandang cacat yang ditandai dengan adanya Undang-undang Nomor 19/2011 tentang Ratifikasi Perlindungan Hak Penyandang Cacat. Sementara, Wali Kota Kupang, Hermanus Man pada kesempatan itu mengatakan, orang cacat sering dikatakan kurang beruntung, namun masih banyak orang yang tidak cacat tetapi tidak beruntung. Karena yang menentukan beruntung dan tidak beruntung ada di tangan Tuhan. “Meski bentuk fisik kita itu berbeda, tetapi kita itu satu. Pemerintah Kota Kupang sangat menghargai penyandang cacat. Sehingga pemberdayaan itu merupakan kata kunci bagi orang yang memiliki kekuatan,” jelasnya. (teo/ays) |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to " KUPANG METRO"
Posting Komentar